Pintar Merasa dan Merasa Pintar

dinda estu
3 min readSep 13, 2019

Pintar Merasa dan Merasa Pintar

SDM Unggul adalah progam utama yang dibawa dan dikemukakan oleh Presiden Jokowi untuk periode duanya. Lantas, bagaimana kita beranjak dari periode satu jika persimpangannya di penuhi dengan berita yang menjemukkan sedemikian? Mari kita tarik runtut beberapa hal yang ramai di media 3 bulan terakhir ini

· RUU PKS

· RUU KPK

· Panasnya kondisi persatuan dan perdamaian di Papua

· Masalah agraria

· Kebakaran Hutan

· Masalah HAM

· Kran Impor

· Dan masih banyak lagi yang teman-teman bisa tambahkan.

Masalah-masalah yang saya tulis di atas bukanlah masalah elitis yang harus diselesaikan oleh pemerintah dan bagian terkait saja, tapi bagi siapa yang bisa berpikir. Sangat berat rasanya jika konsumen informasi dari media baygon dan whatsapp yang berasal dari berbagai jenis usia harus masuk di kementerian terkait atau lembaga terkait “penyelesaian masalah”.

Sumber Daya Manusia Unggul, tidak akan tercipta dengan pola pikir mencari masalah, berpikir pendek, dan suka menyalahkan. SDM Unggul akan terbentuk dari pola pikir yang sistematis dan tidak mudah menghakimi, dengan cara itu masyarakat akan terbiasa untuk mencari solusi. Sepengalaman saya menjadi bagian dari Kantor Staf Presiden dengan waktu yang sangat singkat, saya menemukan banyak sekali masalah yang harus ditangani oleh Staf Presiden dengan bersentuhan langsung kepada masyarakat. Untuk masalah agraria saja, setidaknya terdapat 800 kasus dan terus meningkat, masalahnya apakah hanya berasal dari pemerintah Jokowi? Bukan. Masalah ini telah lama ada dan tidak pernah terselesaikan, mulai dari zaman bapak Soeharto. Lantas, berbagai berita miring yang tersebar dan menjadi konsumsi sehari-hari yang meningkatkan pragmatisme kita terhadap negara ini, salah siapa?

“Presiden lelet! Presiden boneka! Presiden ra penet blas! Presiden diam! Presiden menutup mata! Semua salah rezim! Aseng!”

Bagaimana jika presiden itu, anda.

Mampukah anda dengan fitur terbaik, memakan kalimat tersebut bejuta kali dalam sehari?

Menjadi manusia yang pintar, ada dua kemungkinan. Merasa pintar atau pintar merasa. Mari kita analogikan dengan mudah bagaimana kita melihat manusia lainnya, manusia dari kepala hingga ujung kaki. Mana yang paling pertama kita lihat? Kepalanya. Begitulah kita selalu menyalahkan negara kita yang berantakan. Kita tidak suka melihat bagaimana kepala ini memproses dan berusaha menyelesaikan masalah yang besar dan banyak. Sedangkan, sebagai suatu bagian dari negara, kitalah badan itu. Bapak Presiden adalah kepala yang terlihat, siapapun presidennya. Memang, manusia lebih mudah menyalahkan dan menangkis berbagai tuduhan dan suka melimpahkan. “semua salah rezim Jokowi”, begitu sering saya dengar dari kawan-kawan yang ada di media sosial. Sedangkan, sudahkah kita menjadi bagain yang mencari solusi tanpa mencaci? Mari bukan hanya merasa pintar, tapi juga pintar merasa. Presiden kita, siapapun itu hanya memiliki 2 tangan, 2 mata, 2 kaki, satu hidung, dua telinga, dan satu mulut. Sedangkan seperti yang kita pahami, negara ini adalah negara besar dan kaya. Tidak mungkin di peluk dan di jaga oleh satu orang saja. Sudahkan kita saling merangkul dan mencintai perbedaan yang membuat kita beraneka? Saya rasa belum. Kita lebih suka merasa pintar dengan informasi yang kita dapat hanya dari sumber saja.

Memang, sangat mudah menyalahkan orang lain, itu membuat kita terbebas dari rasa bersalah dan tanggung jawab. Tapi apakah kita bagian dari pencari jalan keluar? Mari kita tanyakan pada diri kita masing-masing.

Bagi kawan-kawan yang mempertanyakan banyak aktivis yang “hilang” karena “terlalu dekat dengan istana”. Saya rasa, mereka bukan hilang, mereka melebur karena sudah tidak bisa lagi berteriak dari luar pagar. Mereka telah menjadi bagian dari sistem dan mencari masalah dari dalam. Mereka tidak perlu berteriak dan menunjukkan taring sebagai orang paling garang dan pintar dalam masalah sosial yang terjadi saat ini. Mereka telah menjadi bagian dari solusi, yang tanpa kita ketahui bersentuhan langsung dengan salah satu, sepuluh, beberapa kelompok, atau masalah lebih besar dari 250 jutaan penduduk yang ada di Indonesia bersama miliaran problematikanya.

SDM Unggul ini bisa saja sirna sekejap mata dan hanya menjadi jargon pemanis memberi harapan rakyat, namun juga bisa menjadi nyata apabila kita berpegangan tangan dan bekerja bersama merealisasikannya. Banyak program dan strategi telah dibentuk, rancangan telah dikaji, tindakan yang diusahakan. Mari,coba berhenti hanya melihat kepala yang botak dan mulai rontok rambutnya, tapi juga melihat bagian lain seperti kementerian terkait, dirjen, kementerian koordinator, DPR, DPRD, pemerintah daerah, pemerintah provinsi, walikota anda, kita, yang memiliki kendali penuh untuk ikut menyelesaikan masalah. Andai kita tahu, bahwa negara bergerak dengan motor birokrasi dan reformasi birokrasi adalah pekerjaan rumah bagi masing-masing kita WNI. Namun kenapa masih banyak yang berlari langsung ke presiden? Presiden, sekali lagi boleh tidak disukai, namun bukan berarti membenci. Mulai lah kita menjadi bagian dari Solusi untuk NKRI.

Salam, manusia biasa

Dinda Sri Estu

--

--