“Previlege”

dinda estu
4 min readDec 11, 2019

“Privilege”

Hak istimewa, hal yang sudah sering saya dewakan sejak saya sadar bahwa identitas sebagai anak siapa itu bisa mempengaruh lolos tidaknya seseorang untuk masuk SMP di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di kota saya beranjak dewasa. Saat itu saya baru saja sampai di rumah setelah pergi karya wisata dari Bali, harap-harap cemas dan percaya diri karena nilai saya termasuk tinggi di tahun 2009. Namun, harapan tersebut patah ketika ayah mengelus rambut saya sambil meminta maaf “Maaf ya nda, ayah nggak punya uang buat bayar pendukung fasilitas. Tapi Dinda tetap anak ayah yang paling pintar!”. Sedih, kecewa, bingung apa itu “uang pendukung fasilitas”, semakin beranjak dewasa saya juga menghadapi berbagai jenis realitas serupa. Berbaga cerita tersebut tidak bisa saya tulisakan semua, namun salah satunya adalah ketika saya ingin mendaftar ulang pembayaran pertama di kampus saya, terpotang-panting birokrasi, saya dan ibu sudah berasa di lingkungan kampus sejak jam 8 pagi dan belum sarapan. Tiba di kampus, saya menggandeng tangan ibu riang, menunjukkan gedung perkuliahan dan tempat pendafataran ulang. Hampir semua urusan selesai, kecuali pembayaran. Saat itu uang pendaftaran ulang (2015) adalah Rp. 4.750.000, bukan nominal yang mahal bagi sebagian orang, tapi mahal bagi kami. Ibu hanya mengantongi uang Rp. 2.750.000, tidak diotak-atik karena itu adalah uang yang diharapkan bisa menyalakan bara harapan keluarga kami, pendidikan. Bukannya tak berusaha aku juga mencoba mencari pinjaman kepada temanku yang kaya raya, anak dokter dan pengusaha yang memliki rumah sakit dan sekolahan, lalu ke dosen Bahasa inggris yang aku kira begitu mendukung dan percaya pada penddikanku. Aku berusaha meminjam satu juta saja, agar tidak perlu bingung mengurus dispensasi yang tidak tahu sebenarnya ada atau tidak. Namun semuanya nihil, tidak ada yang percaya padaku dan kemampuanku, mereka semua meludah sepah. Saya bahkan harus meminjam uang Rp. 10.000 kepada teman yang saya kenali saat pendaftaran, Rp. 2.000 untuk fotocopy, dan sisanya untuk membeli minum. Ibu kemudian memberanikan diri untuk bertanya ke ibu-ibu yang memakai kaling panitia pendaftaran ulang “permisi bu, saya mau tanya untuk pengurusan pembayaran sebagian dimana ya?” ibu itu menjawab ketus “tidak da hal seperti itu di UMM!”, ibuku membalas dengan suara bergetar “tolong bu, saya cuma ngin anak saya kuliah” sambal tangannya meraih pundakku seraya aku membuang muka ke kiri karena air mataku jatuh. Ku kepal dank u genggam tanganku, aku pikir “aku ga boleh nangis!”, ibu itu lalu menjawab “Coba ke bagian BAU, di sebelah helipad temui pak Syamsul”. Nama itu akan selalu aku ingat, walaupun sampa aku wisuda aku tidak pernah bertemu muka dengan beliau, waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB, perut mulai keroncongan, aku mondar-mandir bertanya “permisi bu, pak Syamsul kemana ya?” tidak ada jawaban, kata mereka, sedang sibuk saja pokoknya. Hingga menunjukkan pukul 14.45, ada gadis lain yang tiba-tiba berlar ke arah seorang bapak-bapak, “Pak, permisi saya mau mengurus dispensasi. Katanya harus menemui bapak?” dibawab pria yang tidak jelas kulihat wajahnya “ga ada dispensasi di UMM mbak!”, gadis berkerudung abu-abu itu pun pergi sambil mengusap pipi. Dimanapun ia berada sekarang, semoga ia bahagia. Lalu ibuku memberanikan diri untuk bertanya langsung ke ibu-ibu di balik meja, sedangkan aku menunggu dengan penuh doa di kursi tempat tunggu. Ibuku terlihat membasuh air mata dan mengeluarkan uang yang ditutupi oleh kertas HVS. Iya, uang itu bukan berasal dari Bank, tapi dari tabungan konvensional dan uang menjual TV, sisa uang pelunasan masih diusahakan ayahku di Ibukota menjadi supir pickup untuk proyek bangunan. Ibuku menoleh, melempar senyum disitu aku merasa lega tapi marah dan bingung. Hingga akhirnya saya terbentur pada tembok “I’m a zero previlege girl”.

Kami pun mengendarai motor setelah adzan maghrib, karena mengurus hal lain yang ternyata masih banyak, tes baca Al-Quran, mengambil almamater, foto untuk KTM. Sayangnya, aku dan ibuku tidak membawa jaket untuk melindungi diri dari dinginnya Kota Wisata Batu yang menggigit. Sesampainya dirumah, aku mengerjakan tugas pertamaku sebagai mahasiswa untuk mengikuti PESMABA (Penerimaan Mahasiswa Baru) Fakultas, aku review buku yang sudah aku sekaligus ambil di kakak tingkat yang sudah hampir lulus. Ketika sedang asyik memahami apa itu “Hubungan Internasional” pintu kamarku terbanting, disitu aku lihat kakak laki-lakiku dengan mata merah, ketakutan aku selalu melihatnya sebagai monster tukang marah karena ingatan yang ia tinggalkan di masa kecilku, tidak lain membanting pintu dan berteriak, terlepas dari usahanya untuk mengajakku bermain, monster itu selalu menyita tempat. “Ngapain kamu kuliah?!” ia berteriak dalam Bahasa jawa, “Kamu ga liat ibu sakit? Dasar ga guna! Kamu itu harusnya tau kalua ayah sama ibu itu udah tua, kamu cuma jadi beban aja!”, aku balik berteriak “Bahno a, aku pingin kuliah!” artinya biarkan, aku ingin berkuliah. Aku lari melewatinya menuju Kamar ibu yang ternyata di dalamnya terbaring malaikatku dengan suhu badan yang tinggi, lambungnya kumat karena tidak makan seharian dan terkena angin malam Kota Batu yang dingin. Aku menangis memeluk beliau yang kemudian terbangun, aku meminta maaf sejadi-jadinya. Aku merasa bersalah karena aku memaksakan diri untuk berkuliah, aku meminta maaf karena dia harus pulang lagi ke Malang dari Jakarta yang harusnya dia tak perlu lagi memikirkan kontrakan rumah karena bisa tinggal dengan kakak pertamaku dan menantunya di Cibubur. Aku memeluknya erat dan menangis, terus merasa bersalah karena membuatnya sakit. Aku takut sekali, aku takut egoku untuk mendapatkan pendidikan ini justru semakin menyakiti kedua orang tuaku.

Ibuku lalu memegang tanganku dan memegangnya erat.

“Dinda itu tanggung jawab ayah dan ibu, jadi ga perlu minta maaf. Ayah dan ibu mendukung Dinda kuliah, supaya Dinda sukses. Hidup dinda harus lebih baik dari ayah dan ibu, dinda harus kuat. Gausah dengerin omongan orang, siapapun itu! Dinda sudah berusaha tes sampai diterima, sekarang ayah dan ibu yang harus pastikan dinda benar-benar kuliah”.

Terlempar jauh ingatanku, ketika masih di Jakarta saat libur setelah kelulusan SMA. Ayah mengajakku bermain ke danau UI, memandang rektorat ayah berkata “Dinda nanti bisa kuliah disini, mau itu S1, S2, S3 apapun itu, ayah tau Dinda bisa. Kalaupun bukan dari uang orang tua, Dinda pasti akan jadi mahasiswa disini. Ayah bisa bayangin!”

Semua campur aduk, debat liberalisme vs realisme, keinginan kuliah di UI berakhir di UMM, kuliah dispensasi, ibu sakit, kakak tidak suportif, PESMABA, dan lain-lain serasa memukul kepala belakangku, hingga aku menangis dan terus menangis hingga terbangun karena ibu meminta dibuatkan bubur.

--

--